Get cash from your website. Sign up as affiliate.

Tuesday, June 28, 2011

Sufisme dan Ilmu Tassawuf



Ajaran Kaum Sufi Tentang Keesaan Tuhan di jaman modern

Kita hidup pada masa ketika sains dan teknologi telah membawa umat manusia tidak hanya maju dalam bidang material, tetapi juga kepada sinisme yang tajam atas agama dan aspek-aspek spiritual dari kehidupan.

Pada sisi lain, kesuksesan metode sains telah menetapkan batasan-batasan yang dipertimbangkan untuk menjadi bidang studi yang berguna dan praktis. Kita telah diajarkan (dicekoki) untuk percaya bahwa hanya yang bersifat materi, fisik dan lahiriah saja yang bisa diterima, dan hanya pikiran rasional yang dapat menganalisa dan layak disebut sebagai KEBENARAN.

Namun pada sisi lainnya, kita sangat mudah menjadi dikecewakan oleh berbagai agama yang mengklaim bahwa mereka telah mengakses kebenaran dan kebaikan yang absolut, sementara klaim-klaim ini jarang diaktualisasikan lewat pengalaman dan akhlak yang luhur.

Orang-orang Sufi mengakui bahwa Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat, Kuasa, Agung, Besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dahsyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang, Berkehendak, Berfirman, Mencipta, Menjaga.

Bahwa Dia diberi sifat dengan segala gelar, yang dengan itu Dia telah memberi sifat pada diri-Nya sendiri; dan Dia diberi nama yang dengan itu pula Dia telah memberi nama pada diri-Nya sendiri; bahwa karena sifat-Nya yang kekal maka demikian pula nama-nama dan sifat-sifat-Nya sama sekali tak sama dengan makhluk-makhluk-Nya. Esensi-Nya tidak sama dengan esensi-esensi lain, tak pula sifat-Nya sama dengan sifat-sifat lain; tak satu pun dari istilah-istilah yang diterapkan pada makhluk-makhluk ciptaan-Nya dan yang mengacu pada penciptaan mereka dari waktu ke waktu, membawa pengaruh atas-Nya; bahwa Dia tak henti-hentinya menjadi Pemimpin, Terkemuka di hadapan segala yang dilahirkan dari waktu ke waktu, Ada sebelum segala yang ada; dan bahwa tiada sesuatu pun yang kekal kecuali Dia, dan tiada Tuhan di samping Dia; bahwa Dia bukan badan, potongan, bentuk, tubuh, unsur atau aksiden; bahwa dengan Dia tidak ada penyimpangan maupun pemisahan, tidak ada gerakan maupun kediaman, tidak ada tambahan maupun pengurangan; bahwa Dia bukan merupakan bagian, atau partikel, atau anggota, atau kaki-tangan, atau aspek, atau tempat: bahwa Dia tidak terpengaruh oleh kesalahan, atau kantuk, atau berubah-ubah dikarenakan waktu, atau disifatkan oleh kiasan bahwa Dia tidak terpengaruh oleh ruang dan waktu; bahwa dia tidak dapat dikatakan sebagai yang dapat disentuh, atau dikucilkan, atau mendiami tempat-tempat; bahwa Dia tidak dibatasi oleh pemikiran, atau ditutupi selubung, atau dilihat mata

Salah seorang tokoh besar Sufi mengatakan dalam wacananya: "Sebelum tidak mendahului-Nya, setelah tidak menyela-Nya, daripada tidak bersaing dengan Dia dalam hal keterdahuluan; dari tidak sesuai dengan Dia, ke tidak menyatu dengan Dia, di tidak mendiami Dia, kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia, atas tidak membayangi Dia, di bawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapinya, dengan tidak menekan Dia, di balik tidak mengikat Dia, di depan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia, di belakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia, ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap. Penyembunyian tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia mendahului yang belum ada, kekekalan-Nya mendahului adanya batas. Jika engkau berkata kala, maka eksistensi-Nya telah melampaui waktu; jika engkau berkata sebelum, maka sebelum itu sesudah Dia, jika engkau berkata Dia, maka D, i dan a adalah ciptaan-Nya; jika engkau berkata bagaimana, maka esensi-Nya terselubung dari pemberian; jika engkau berkata di mana, maka adanya Dia mendahului ruang; jika engkau berkata tentang ke-Dia-an, maka ke-Diaan-Nya terpisah dari segala sesuatu. Selain Dia, tidak ada yang bisa diberi sifat dengan dua sifat (yang berlawanan) sekaligus, dan toh dengan-Nya kedua sifat itu tidak menciptakan keberlawanan. Dia tersembunyi dalam penjelmaan-Nya menjelma dalam persembunyian-Nya. Dia ada di luar dan di dalam, dekat dan jauh; dan dalam hal itu Dia tidak sama dengan makhluk-makhluk. Dia bertindak tanpa menyentuh, memerintah tanpa bertemu, memberi petunjuk tanpa menunjuk. Kehendak tidak bertentangan dengan-Nya, pikiran tidak menyatu dengan-Nya; esensi-Nya tanpa kualitas (takyif), tindakan-Nya tanpa upaya (taklif).

Mereka mengakui bahwa Dia tidak bisa dilihat oleh mata, atau dibantah oleh pikiran; bahwa sifat-sifat-Nya tidak berubah dan nama-nama-Nya tidak berganti; bahwa Dia tidak pernah lenyap dan tidak akan pernah lenyap; Dia yang Pertama dan Terakhir, Zahir dan Batin; bahwa Dia mengenal segala sesuatu, bahwa tidak ada yang seperti Dia dan bahwa Dia Melihat dan Mendengar.





Jalan Sufi

Menurut jalan kaum sufi, orang yang telah mencapai keadaan sadar lahir batin, dan yang telah berhasil mencapai suatu titik keseimbangan dan sentralitas, dapat menolong orang lain dan menggambarkan kepada mereka keadaan kemajuannya.

Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.

Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya

Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan perkembangan batin.

Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.




Batas Kemampuan Manusia

Mereka mengakui bahwa setiap tarikan nafas, setiap lirikan mata dan setiap gerakan mereka bisa terjadi berkat indera yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, dan merupakan suatu kemampuan yang Dia ciptakan untuk mereka bersamaan dengan tindakan-tindakan mereka, bukan sebelumnya atau sesudahnya, dan bahwa tidak ada tindakan yang dapat dilaksanakan tanpa ini semua; sebab, kalau tidak, berarti mereka memiliki sifat Tuhan, bisa melakukan segala yang mereka inginkan dan menetapkan segala yang mereka kehendaki, dan Tuhan tidak lagi akan menjadi Yang Maha Kuat, Yang Maha Berkuasa seperti dalam firman-Nya: "Begitulah Allah berbuat menurut kehendak-Nya, tidak lebih dari budak yang melarat, lemah dan hina.

Jika saja kemampuan ini ditentukan oleh pemilikan anggota badan yang sehat, maka tiap orang yang memiliki karunia itu akan dapat mencapai taraf yang sama; tapi pengalaman menunjukkan bahwa seseorang dapat saja memiliki anggota badan yang sehat, sedang tindakannya bisa jadi tidak sama sehatnya. Dengan demikian maka kemampuan tidak berasal dari indera dan menjelmakan dirinya dalam badan yang sehat; indera adalah sesuatu yang beragam tingkatannya pada berbagai saat, seperti yang bisa dilihat oleh orang pada dirinya sendiri. Lebih-lebih, karena indera itu merupakan suatu aksiden, dan aksiden itu tidak dapat bertahan sendiri, atau bertahan lewat sesuatu yang bertahan di dalamnya sebab jika sebuah benda tidak ada dengan sendirinya, dan tidak sesuatu pun bisa jadi ada karenanya, maka benda itu tidak dapat bertahan lewat pertahanan benda lain, sebab pertahanan benda lain itu tidak mengandung arti pertahanan untuknya, maka hal itu berarti benda itu tidak memiliki pertahanan sendiri; dan karenanya, tidak dapat tidak, kesimpulannya adalah indera masing-masing tindakan itu berbeda dari indera tindakan lain. Jika halnya tidak demikian, maka manusia tidak akan membutuhkan pertolongan Tuhan pada saat mereka bertindak, dan firman Tuhan, "Dan kepada Engkaulah kami mohon pertolongan", tidak akan ada artinya. Lebih jauh lagi, jika indera itu tidak ada sebelum adanya tindakan, dan tidak dapat bertahan sampai adanya tindakan tersebut, maka tindakan itu pasti dilakukan dengan indera yang telah tiada, yaitu tanpa indera apa pun; yang mengisyaratkan putusnya hubungan antara Tuhan dan hamba sekaligus. Sebab jika demikian halnya, maka jelas mungkin bahwa tindakan-tindakan itu bisa ada dengan sendirinya, tanpa perantara. Tapi Tuhan berfirman, dalam kisah Musa dan hamba-Nya yang kuat (Khidzir), "Sesungguhnya engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku" dan juga, "Demikianlah penjelasan persoalan yang kamu tidak sanggup sabar menghadapinya itu, yang Dia maksudkan sebagai yang tidak kamu miliki indera untuk melakukannya.



Mereka mengakui bahwa mereka diberi kepercayaan dengan tindakan-tindakan dan tanggung jawab dalam arti sejatinya, yang untuknya mereka diberi pahala dan dihukum; dan oleh sebab itu Tuhan mengeluarkan perintah dan larangan, dan menyampaikan berita gembira serta ancaman-ancaman. Arti istilah tanggung jawab itu adalah bahwa manusia bertindak karena sebuah indera yang dibuat (oleh Tuhan). Seorang tokoh Sufi berkata: Makna tanggung jawab adalah bahwa manusia itu bertindak demi mencari keuntungan atau menolak kesialan, maka Tuhan berfirman, Hasil kerjanya yang baik untuknya sendiri, dan yang tidak baik menjadi tanggungannya sendiri pula. Lebih jauh mereka akui bahwa mereka melaksanakan kehendak dan keinginan bebas yang menyangkut tanggung jawab mereka, dan bahwa mereka tidak dipaksa atau ditekan di luar kemauan mereka. Yang kami maksud dengan kehendak-bebas Tuhan dipatuhi bukan karena terpaksa, atau tidak dipatuhi dikarenakan tekanan yang berlebihan; Dia tidak meninggalkan hamba-Nya sama sekali tanpa melakukan sesuatu di kerajaan-Nya. Sahl ibn Abdillah berkata: Tuhan tidak memberi kekuatan kepada orang yang saleh lewat paksaan, Dia menguatkan mereka lewat iman. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata: Siapa pun yang tidak percaya pada takdir adalah orang kafir, dan siapa pun yang mengatakan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak patuh pada Tuhan adalah seorang pendosa.


Definisi Tasawuf

"tasawuf"(sufism), yang telah sangat populer digunakan selama berabad-abad, dan sering dengan bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa. Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam literatur sufi. Sebagian berpendapat bahwa kata itu berasal dari kata shafwe yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum Muslim awal yang berdiri di baris pertama dalam salat atau dalam perang suci. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa kata itu berasal dari shuffa, ini serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit nyembul di atas tanah di luar Mesjid Nabi di Madinah, tempat orang-orang miskin berhati baik yang mengikuti beliau sering duduk-duduk. Ada pula yang menganggap bahwa kata tasawuf berasal dari shuf yang berarti bulu domba, yang me- nunjukkan bahwa orang-orang yang tertarik pada pengetahuan batin kurang mempedulikan penampilan lahiriahnya dan sering memakai jubah sederhana yang terbuat dari bulu domba sepanjang tahun.

Apa pun asalnya, istilah tasawuf berarti orang-orang yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan batin.

Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, atau musuh-musuh mereka, mengingatkan kita bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.

Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam (622), ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf, yang berarti bahwa mereka mengikuti jalan penyucian diri, penyucian "hati", dan pembenahan kualitas watak dan perilaku mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah Allah seakan-akan mereka melihat Dia, dengan mengetahui bahwa sekalipun mereka tidak melihat Dia, Dia melihat mereka. Inilah makna istilah tasawuf sepanjang zaman dalam konteks Islam.

Saya kutipkan di bawah ini beberapa definisi dari syekh besar sufi:

Imam Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah". Syekh Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan". Syekh Ahmad Zorruq (m.1494) dari Maroko mendefinisikan tasawuf sebagai berikut:

Ilmu yang dengannya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan Anda tentang jalan Islam,khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal Anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat Islam agar kebijaksanaan menjadi nyata.

Ia menambahkan, "Fondasi tasawuf ialah pengetahuan tentang tauhid, dan setelah itu Anda memerlukan manisnya keyakinan dan kepastian; apabila tidak demikian maka Anda tidak akan dapat mengadakan penyembuhan 'hati'."

Menurut Syekh Ibn Ajiba (m.1809):

Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya Anda belajar bagaimana berperilaku supaya berada dalam kehadiran Tuhan yang Maha ada melalui penyucian batin dan mempermanisnya dengan amal baik. Jalan tasawuf dimulai sebagai suatu ilmu, tengahnva adalah amal. dan akhirnva adalah karunia Ilahi.


Syekh as-Suyuthi berkata, "Sufi adalah orang yang bersiteguh dalam kesucian kepada Allah, dan berakhlak baik kepada makhluk".

Dari banyak ucapan yang tercatat dan tulisan tentang tasawuf seperti ini, dapatlah disimpulkan bahwa basis tasawuf ialah penyucian "hati" dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa produk akhirya ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Penciptanya. Jadi, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk menyucikan "hati"-nya dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya oleh Nabi Muhammad saw.

Dalam konteks Islam tradisional tasawuf berdasarkan pada kebaikan budi ( adab) yang akhirnya mengantarkan kepada kebaikan dan kesadaran universal. Ke baikan dimulai dari adab lahiriah, dan kaum sufi yang benar akan mempraktikkan pembersihan lahiriah serta tetap berada dalam batas-batas yang diizinkan Allah, la mulai dengan mengikuti hukum Islam, yakni dengan menegakkan hukum dan ketentuan-ketentuan Islam yang tepat, yang merupakan jalan ketaatan kepada Allah. Jadi, tasawuf dimulai dengan mendapatkan pe ngetahuan tentang amal-amal lahiriah untuk membangun, mengembangkan, dan menghidupkan keadaan batin yang sudah sadar.

Adalah keliru mengira bahwa seorang sufi dapat mencapai buah-buah tasawuf, yakni cahaya batin, kepastian dan pengetahuan tentang Allah (ma'rifah) tanpa memelihara kulit pelindung lahiriah yang berdasarkan pada ketaatan terhadap tuntutan hukum syariat. Perilaku lahiriah yang benar ini-perilaku--fisik--didasarkan pada doa dan pelaksanaan salat serta semua amal ibadah ritual yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad saw untuk mencapai kewaspadaan "hati", bersama suasana hati dan keadaan yang menyertainya. Kemudian orang dapat majupada tangga penyucian dari niat rendahnya menuju cita-cita yang lebih tinggi, dari kesadaran akan ketamakan dan kebanggaan menuju kepuasan yang rendah hati (tawadu') dan mulia. Pekerjaan batin harus diteruskan da1am situasi lahiriah yang terisi dan terpelihara baik.






Meditasi SUFI

Muraqabah adalah meditasi. Meditasi adalah konsentrasi dan fokus. Meditasi adalah meminta dan mencari jalan untuk mencapai apa yang Anda cari. MEDITASI SUFI adalah tingkat terakhir, titik akhir dari spiritualitas yang mampu kita capai. Meditasi bukannya duduk di atas kaki Anda, bersila, memejamkan mata sambil berpikir bahwa Anda telah mencapai apa yang sedang Anda cari. Hal tersebut hanyalah imitasi, bukan meditasi sebenarnya.

Meditasi bukanlah bagi pemula. Ini merupakan tingkat akhir pagi para darwish dalam Thareqat ini, tingkat tertinggi bagi amalan Sufi. Meditasi bukan untuk semua orang. Pertama-tama para pemula harus di persiapkan dan di latih melalui latihan-latihan spiritual lain yang mengarah pada perkembangan dari berbagai karakteristik yang diperlukan untuk mencapai tingkatan meditasi. Dia harus belajar tata cara dan menguasai metode sufisme untuk mencapai titik itu. Dia harus di latih.

Latihan ini amat penting, karena meditasi meminta Anda untuk menghentikan berbagai perasaan dan keinginan. Anda harus menghilangkannya untuk menyiapkan diri, bahkan pada tahap awal meditasi. Diri Anda dipenuhi dengan berbagai hal yang tidak manfaat dan ini harus disucikan, juga belajar untuk mengendalikan berbagai pikiran dan perasaan sebelum pelaksanaan meditasi Sufi Anda berhasil. Meditasi Sufi adalah sebuah ‘koneksi atau hubungan’, dan fisik Anda harus mampu membawa ‘koneksi’ ini.

Jika melakukan meditasi namun Anda masih di bawah kontrol nafsu-nafsu, maka meditasi Anda tidak akan berhasil. Mungkin Anda mengira sedang bermeditasi, namun sebenarnya hanya menipu diri sendiri. Anda tidak akan berhasil dalam disiplin ini tanpa mulai dengan penyucian diri dan belajar bagaimana menghentikan gangguan-gangguan tersebut. Dalam meditasi Sufi, Anda harus melepaskan segala keinginan-keinginan selain cinta pada dia yang sedang menjadi tujuan meditasi Anda. Lenyapkan segala nafsu keinginan kecuali cinta pada yang dituju. Jika tersisa keinginan lain, maka meditasi Anda tak membuahkan apapun. Mungkin Anda menyatakan kalau Anda mempraktekkan meditasi namun hal itu tidak berdasar.

Laksana sebuah sungai mengalir ke samudra, setelah sampai maka merekapun menyatu, maka demikian pula halnya dengan jalan meditasi Sufi yang mengarahkan para pencari pada kefanaan di dalam apa yang sedang dia cari. Bagaimanapun, para pencari harus mempertahankan pikiran tunggal untuk mencapai tujuan akhirnya. Hanya jika dia berkemauan dan mampu meninggalkan segala hal dan kembali ke dalam dirinya dengan perhatian tak terbagi, maka dia mampu menjelajahi jalur ini sampai akhir. Jika berhasil, baru dia akan menemukan apa yang di carinya.






Asal kata sufi

Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:

1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.

2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.

3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.

4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).





Asal-usul tasawuf

Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.

Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.

Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.

Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan Dia di bumi ini.

Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh Tuhan.


Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?

Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."

Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.

Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."



Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."

Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.


Unsur-unsur masuknya tasawuf

1. Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manu¬sia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (Lihat QS. al-Maidah, 5: 54); perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah (Lihat QS. Tahrim, 8), petunjuk bahwa manusia akan senan¬tiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada. (Lihat QS. al-Baqarah, 2:110), Tuhan dapat memberikan cahaya ke¬pada orang yang dikehendakinya (Lihat QS. al-Nur, 35). Selan¬jutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (Lihat QS. al-Hadid, al-Fathir, 5), dan senantiasa bersikap sabar da¬lam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT. (Lihat QS. Ali Imran, 3).

2. Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsur luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu disebabkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu.
Dengan demikian adanya unsur luar Islam yang mempengaruhi tasawuf Islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah akidah Islamiah. Karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan obyektif. Kita mengakui bahwa Islam sebagai agama universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan sosial. Dengan sangat selektif Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsur ajaran sufistik yang terdapat dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat ber¬sentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang berasal dari luar Islam itu.

3. Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agama Nasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziher yang mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama Nasrani. Selanjutnya Noldicker mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.

4. Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina terutama dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.

5. Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkamasil (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Goffiq Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara koh Sidharta Gautama dengan Ibrahim bin Adham tokoh sufi

6. Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubung¬an semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran, kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohanj Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu Mazdaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.





Munculnya Tasawuf

Menurut al-Dzahabi, istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), al-Muhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari’at.

Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H. Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan.

Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi.


  1. Yahoo 
  2. Indoboox 
  3. Bang Huda
  4. Mywapblog 
  5. Blogspot 
  6. Kreativitas 
  7. Ramabux 
  8. 4shared 
  9. Mobile software 
  10. Okezone 
  11. Chariz IPTN.org
  12. Wallpaper-Me
  13. SNSD Art Gallery
  14. Take Wallpaper
  15. Pulsa Gratis Internet 
  16. Solusi Berbagai Masalah
  17. Kebebasan Finansial

Sejarah Persebaran Kekuasaan Islam


daerah persebaran islamSejak awal Islam telah dirasakan oleh umat muslim sebagai sebuah kode universal. Dimasa Nabi Muhammad, 2 (dua) upaya dilakukan untuk memperluas keislaman ke utara ke Bizantium dan ibukotanya di Konstantinopel, dan dalam sepuluh tahun setelah kematian Muhammad, muslim telah mengalahkan Sassanid Persia dan Bizantium, juga telah menaklukkan sebagian besar Persia, Irak, Suriah , dan Mesir. Penaklukan berlanjut, dan setelah Kekaisaran Sassanid hancur dan pengaruh Bizantium secara umum telah berkurang (lihat Kekaisaran Bizantium). Selama beberapa abad tokoh intelektual dan budaya berkembang luas, multinasional, dan Islam menjadi peradaban yang paling berpengaruh di dunia.

Masa Kekhalifahan

4 (Empat) pertama pengganti Nabi Muhammad SAW, yang dikenal sebagai khalifah, memerintah selama kurang lebih 30 tahun. Kekuasaan mereka, bersama-sama dengan Rasullullah, dianggap oleh sebagian besar umat Islam sebagai bentuk masa Islam yang ideal. Khalifah kedua, Umar, yang memerintah dari tahun 634-644 M; dikreditkan sebagai khalifah pertama yang mendirikan kota-kota baru Islam, Al Basra (635M) dan Kūfah ( 638 M). Administrasi timur dan barat provinsi Islam dikoordinasikan dari kedua situs. Setelah khalifah ketiga, Utsman, dibunuh oleh sekelompok pemberontak muslim, khalifah keempat, Ali, mendapatkan kekuasaan dan memindahkan ibukotanya ke Kūfah di Irak. Dengan kekuasaannya, ia melawan faksi oposisi yang berbeda. Di antara para pemimpin faksi-faksi ini, Mu’awiyah, gubernur provinsi kaya, Suriah, dan seorang kerabat Utsman, bertahan lebih lama daripada Ali. Setelah kematian Ali di 661, Mu’awiyah mendirikan dinasti Umayyah, yang memerintah kerajaan Islam yang bersatu selama hampir satu abad. Di bawah Umayyah ibukota Islam dipindahkan ke Damaskus

Islam Syiah

Para pengikut Ali dikenal dengan nama Syiah (partisan) Ali. Meskipun mereka mulai sebagai sebuah kelompok politik, Syiah, atau Syiah Muslim, menjadi sebuah sekte tertentu pada posisi teologis dan doktrinal. Peristiwa kunci dalam sejarah Syiah dan bagi seluruh umat Islam adalah kematian tragis putra Ali, di Karbala, dan Fathimah putri Muhammad. Husain telah menolak untuk mengakui legitimasi kekuasaan Bani Umayyah Yazid, putra Mu’awiyah, dan berusaha memperoleh dukungan di Kūfah. Rencananya tersebar sebelum ia tiba di Kūfah, dan sejumlah besar pasukan Umayyah bertemu dengannya beserta 70 anggota keluarganya di pinggiran kota. Umayyah Husain menawarkan pilihan antara yang tunduk kepada aturan meereka atau pertempuran dan pasti mati. Husain memilih untuk melawan, dan ia dan semua anggota keluarganya dengan dirinya sendiri ibantai. Insiden ini memiliki arti signifikan dari sudut pandang militer, akan tetapi kejadian tersebut merupakan momen yang menentukan dalam sejarah Islam Syiah. Walaupun tidak semua Muslim Syiah Muslim, semua umat Islam melihat Husain sebagai seorang martir untuk hidup sampai dengan prinsip-prinsip-Nya bahkan sampai mati.

Syiah Dua Belas, atau Ithna-’Ashariyya, adalah yang terbesar dari sekte Muslim Syiah. Mereka percaya bahwa kepemimpinan Islam yang sah diberikan kepada garis keturunan Nabi Muhammad dimulai dengan saudara sepupu dan keponakannya, Ali, melalui dua orang putra Ali, Hasan dan Husain, dan kemudian melalui keturunan Husain. Ini adalah yang pertama dari Imam-12, atau pemimpin komunitas Muslim Syiah. Muslim Syiah percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah menetapkan semua penerus dengan 12 nama dan mereka mewarisi pengetahuan khusus tentang makna sebenarnya dari Kitab Suci yang disampaikan dari ayah ke anak, dimulai dengan Nabi sendiri. Keluarga ini, bersama dengan pengikut setia dan wakil, memiliki otoritas politik atas Muslim Syiah.

Islam Sunni

Islam Sunni muncul selama periode awal Dinasti Abbasiyah (pada awal tahun 750 M), termasuk pengikut dari empat mazhab (Maliki, Hanafi, Shafi’is, dan Hambali). Berbeda dengan warga Syiah, Sunni percaya bahwa kepemimpinan berada di tangan masyarakat Muslim pada umumnya. Sejarah konsensus masyarakat, bukan keputusan otoritas politik, menyebabkan pembentukan empat mazhab. Secara teori, muslim bisa memilih mazhab mana yang akan ia ikuti.
Setelah empat khalifah pertama, agama dan otoritas politik dalam Islam tidak pernah lagi bersatu di bawah satu lembaga. Biasanya mereka hidup berdampingan, dan ditegaskan oleh pengakuan bersama di lingkup pengaruh yang terpisah dalam masing-masing tugas dan tanggung jawab. Namun, sering kali kedua kekuatan bertabrakan, dan selalu ada oposisi masyarakat terhadap tatanan politik elit yang ada

Sufisme

Puisi SufismeSufi DarwisSebuah tradisi yang disebut Sufisme, yang menekankan kesalehan pribadi dan mistisisme turut berkontribusi pada keragaman budaya Islam, semakin memperkaya peradaban Islam. Berbeda dengan pendekatan yang berpikiran hukum Islam, Sufi menekankan spiritualitas sebagai cara untuk mengenal Allah. Selama abad ke-9 tasawuf berkembang menjadi doktrin mistis, dengan persekutuan atau bahkan persatuan dengan Tuhan sebagai bentuk yang ideal. Salah satu metoda untuk mencapai penyatuan adalah melalui tarian ekstatis berputar sufi darwis. Sufisme kemudian berkembang menjadi gerakan rakyat yang kompleks dan dilembagakan dalam bentuk kolektif, Organisasi Sufi.

Sufi menekankan pada pengetahuan intuitif dan kasih Allah untuk meningkatkan daya tarik Islam dan persebarannya sebagian besar berada di luar Timur Tengah ke Afrika dan Asia Timur. Persaudaraan sufi bertambah dengan cepat dari pantai Atlantik ke Indonesia; dan membentang di seluruh dunia Islam, regional atau lokal. Keberhasilan luar biasa persaudaraan ini disebabkan oleh kemampuan dan kemanusiaan dari pendiri dan pemimpin mereka, yang tidak hanya melayani kebutuhan rohani para pengikut mereka, tetapi juga membantu masyarakat miskin dari semua agama dan sering berfungsi sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah

Dinasti Abbasiyah

cordobaCourtyard, Madrasa, Esfahan

Budaya Islam mulai berkembang di bawah Bani Umayyah, tetapi tumbuh dewasa pada abad pertama dari dinasti Abbasiyah. Abbasiyah berkuasa pada tahun 750 M, ketika pasukan yang berasal dari Khorasan, di Iran timur, akhirnya mengalahkan pasukan Umayyah. Ibukota Islam bergeser ke Irak di bawah Abbasiyah. Setelah mencoba beberapa kota lain, para penguasa Abbasiyah memilih situs di Sungai Tigris di mana Kota Perdamaian, Baghdad, dibangun pada tahun 762 M. Baghdad menjadi pusat politik dan budaya dunia Islam dari saat itu hingga ketika invasi Mongol pada tahun 1258 M, dan untuk sebagian besar kebudayaan Islam sekarang tumbuh dan berkembang di masa periode ini. Abbasiyah adalah orang Arab keturunan dari paman Nabi, tetapi terlibat memimpin gerakan mereka orang Arab dan non-Arab, termasuk Persia, yang telah masuk Islam dan yang menuntut kesetaraan hak dalam Islam.Kekuasaan Abbasiyah terdistribusi merata di antara berbagai etnis dan daerah daripada kekuasaan Bani Umayyah, dan mereka menunjukkan inklusif universal peradaban Islam. Mereka mencapainya dengan memasukkan hasil karya peradaban lain ke dalam politik Islam dan budaya intelektual menjadikan pengaruh eksternal ini sebagai sebuah warisan islam.

Seiring waktu berlalu, kendali pusat Abbasiyah berkurang dan para pemimpin lokal independen dan kelompok-kelompok mengambil alih di provinsi terpencil. Akhirnya saingannya, Syiah, mendirikan Dinasti Fatimiyah di Mesir, dan khalifah Baghdad berada di bawah kontrol provinsi. Kantor khalifah tetap dipertahankan sebagai simbol kesatuan Islam, dan beberapa kemudian Khalifah Abbasiyah berusaha untuk menghidupkan kembali kekuatan dari pusat ibukota.

Pada tahun 1258 , cucu penguasa Mongol Jenghis Khan yang bernama Hulagu, didorong oleh raja-raja Eropa, memimpin pasukannya melintasi Pegunungan Zagros di Iran dan menghancurkan Baghdad. Menurut beberapa perkiraan, sekitar 1 juta Muslim dibunuh dalam pembantaian ini. Pada tahun 1259 dan 1260 pasukan Hulagu menuju Suriah, akan tetapi mereka dikalahkan oleh pasukan Mamluk dari Mesir, yang telah mengambil alih Lembah Nil. Selama dua abad berikutnya, pusat-pusat kekuasaan Islam beralih ke Mesir dan Suriah dan ke sejumlah dinasti lokal. Irak menjadi miskin, depopulasi provinsi di mana orang-orang mengambil gaya hidup nomaden yang fana.

Kehadiran Islam Diabad ke-20

Banyak dari tradisi keislaman yang ada hari ini muncul pada abad 7-10 M, selama periode klasik sejarah Islam. Namun, kebudayaan Islam terus berkembang sebagai peradaban yang menyebar ke daerah baru dan bercampur dengan beragam budaya setempat. Pada Abad ke-19 pendudukan sebagian besar wilayah muslim oleh kekuatan kolonial Eropa merupakan titik balik utama dalam sejarah Islam. Kebudayaan Islam tradisional dalam sistem pemerintahan, organisasi sosial, dan pendidikan rusak oleh rezim kolonial.

Hari ini ada sekitar 1 milyar Muslim di seluruh dunia, dan jumlah mereka tumbuh pada tingkat yang tak tertandingi oleh agama-agama lain di dunia. Terlepas dari perbedaan politik dan keragaman etnis negara-negara Muslim, kepercayaan terus menyediakan dasar bagi identitas bersama dan afinitas di kalangan umat Islam. Namun perbedaan politik, ekonomi, dan budaya kontemporer meyebabkan kondisi di mana umat Islam kesulitan untuk mengidentifikasi apa yang merupakan standar praktik Islam di dunia modern. Banyak umat Islam kontemporer bersumber pada warisan sejarah Islam ketika mereka menghadapi tantangan kehidupan modern. Islam merupakan peradaban signifikan, tumbuh, dan kehadirannya bergerak dinamis di seluruh dunia. Sebuah kebudayaan beragam dunia muslim yang berbeda dimana mereka tinggal.

sumber : Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

Uzlah Dalam Pandangan Dr. Wahbah Zuhaili

Uzlah menurut pemikiran sebagian sufisme klasik berbeda dengan neo–sufisme dalam perilaku tasawufnya. Sufisme klasik cenderung pada mengisolir diri yaitu uzlah dari keramaian hidup bermasyarakat dan hanya melakukan kegiatan yang bersifat spiritual, diantaranya adalah Surri Al-Sahathi, Sufyan Al-Suri, Bisyr ibn Al-Harists, Al-Hafi dan Al-Ghazali. Sedangkan neo sufisme mendorong dan memotivasi untuk kreatif dan berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat, seperti Fazlur Rahman, Hamka dan Said Ramadhan.
Berawal dari perbedaan pemikiran tersebut, sangat menarik minat penulis untuk mengkaji makna uzlah yang ditulis Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsir Al-Munir. Beliau adalah seorang mufassir yang bersikap moderat yang menjauhkan diri dari keberpihakan dan mendukung pemikiran sebagian madzhab atau visi kelompok Islam tertentu.

Penafsiran Dr. Wahbah Zuhaili tentang ayat-ayat Uzlah
Didalam Al-Qur’an tema uzlah tidak didiskripsikan secara gamblang dan detail. Penafsiran uzlah hanya tersirat dari isyarat yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Qur’an Ayat uzlah terdapat dalam surat Al-Kahfi yang didalamnya menerangkan kisah Ashhabul kahfi dalam ayat 16 Allah berfirman :
Artinya : “Dan apabila kalian meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung kedalam gua itu niscaya Tuhan kalian akan melimpahkan sebaian rahmatnya kepada kalian dan menjadikan sesuatu yang berguna bagi kalian dalam urusan kalian”.
Menurut Ibnu Katsir, sebagaimana dikuti Az-Zuhaili, tindakan mengasingkan diri kedalam gua sebagaimana pernah dilakukan ashhabul kahfi adalah di syari’atkan ketika terjadi fitnah atas diri manusia yang membehayakan agamanya.
Az-Zuhaili menafsirkan ayat diatas sebagai berikut :
“Dan ingatlah! Hai ashhabul kahfi akan seruan itu, yang muncul dari antara kamu kepada yang lain. Ketika kalian berketetapan hati untuk melarikan diri, menyelamatkan agama kalian, maka asingkanlah diri kalian. Berpisahlah dengan kaum kalian seraya beruzlah secara fisik dan non fisik dengan berpindah dari tempat tinggal secara mental / kejiwaan dengan ketetapan tidak menyembah apa yang mereka sembah melainkan hanya kepada Allah semata”.
Menurutnya, Allah memerintahkan mereka beruzlah secara fisik dengan cara masuk ke gua besar didalam gunung secara total. Ditempat yang sunyi itu mereka dapat memurnikan jiwa dengan beribadah kepada Allah dan mampu menjauhi orang – orang musyrik. Ini dilakukan mereka sehingga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka dan memudahkan persoalan mereka serta menjadikannya bermanfaat.
Berlindungnya para pemuda mukmin yang sebenarnya pemuda – pemuda terhormat masa kekuasaan “Diqyanus” yang kafir kegua adalah wujud pelarian mereka untuk menyelamatkan agama dari fitnah orang – orang kafir penyembah berhala. Peristiwa ini menjadi dalil yang jelas atas tindakan melarikan diri untuk agama dan hijrah untuk berpisah dengan keluarga, istri, anak, saudara, teman dekat, harta benda dan negara karena takut fitnah dan cobaan yang ditimbulkan oleh manusia.

Hal ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dan para sahabat sebagaimana dalam surat At-taubah. Kondisi yang pengecualian ini menjadi dalil atas diperbolehkannya uzlah yaitu mengasingkan diri dari keramaian manusia. Para ulama sepakat dengan pendapat ini. Adapun pada situasi lain, bergaul adalah lebih baik daripada uzlah.
Al-Baghawi, Ahmad bin Hanbal, Turmudzi dan Ibn Majah telah meriwayatkan dari Ibn Umar dari Nabi Muhammad saw bersabda : Artinya : Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar atas tindakan mereka yang menyakitkan perasaan lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak mau bergaul dengan mereka dan tidak sabar atas tindakan mereka yang menyakitkan (HR Ahmad, Turmudzi dan Ibn Majah)
Az-Zuhaili juga memahami firman Allah dalam surat Al-Hadid ayat 27 sebagai dasar perilaku uzlah, walaupun disisi lain ia mengkritik perilaku tersebut. Artinya : Kemudian Kami iringkan dibelakang mereka Rasul – rasul Kami dan kami iringkan (pula) Isa putra Maryam dan kami jadikan dalam hati orang – orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengadakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada – adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Kami berikan kepada orang yang beriman diantara mereka pahalanya dan banyak diantara mereka orang – orang fasik.
Berkaitan dengan ayat diatas, Az-Zuhaili menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan rasa kasih sayang terhadap sesama makhluk dihati para pengikut Nabi Isa as dan kaum Hawariyyin, tidak seperti kaum Yahudi yang keras hati. Mereka memulai hal baru dalam tradisi keagamaan, yaitu perilaku kerahiban yang sebenarnya tidak disyari’atkan oleh Allah swt.
Ini semata – mata untuk memperbanyak ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah sampai akhirnya mereka mengesampingkan kebutuhan lain seperti makan, minum dan menikah serta menjauhkan diri dari lingkungan kehidupan masyarakat. Mereka bertempat tinggal di gua-gua dan lereng – lereng gunung dengan mengenakan pakaian sangat sederhana. Akan tetapi kebiasaan baru tersebut ternyata tidak dapat dipelihara secara penuh oleh mereka sendiri, sebagian besar mereka justru terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat.
Itulah yang menjadi kritikan Ibn Katsir, sebagaimana dikutip az-zuhaili bahwa mereka telah menyimpang dalam dua hal, pertama mereka melakukan bid’ah dalam masalah agama padahal Allah sama sekali tidak memerintahkan hal tersebut, kedua, mereka tidak konsisten melaksanakan aktifitas yang menurut mereka dapat mendekatkan diri kepada Allah swt.
Menurut Az-Zuhaili, Al-Qur’an pada dasarnya tidak mensyari’atkan agar manusia dalam situasi normal memutuskan hubungan dengan dunia untuk beribadah dan bermunajat kepada Allah swt. Alqur’an tidak menyerukan manusia berkonsentrasi penuh terhadap masalah dunia hingga meninggalkan ibadah. Ajaran Al-Qur’an pada dasarnya menegaskan adanya pertalian antara urusan dunia dan akhirat. Keduanya saling melengkapi dan saling menyempurnakan, bahkan dunia adalah lahan yang subur bagi kepentingan akhirat. Al-Qur’an menyerukan agar manusia saling membantu dalam kedua urusan tersebut.
Maka seorang mukmin yang ideal adalah ia selalu beribadah dan bermunajat kepada Allah dimanapun ia berada, baik ketika berdagang, bekerja, bermasyarakat serta menjaga akhlaq yang baik, ia juga selalu berharap kepada Allah agar mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat bagi dirinya dan orang lain Sebagaiman realisasi firman Allah surat Al-Qashash ayat 77
Mengasingkan diri atau menyendiri bukanlah dari tradisi kehidupan seorang muslim. Tradisi yang berasal dari kehidupan yang Islami adalah pergaulan yang baik, berkumpul secara sehat dan beramah tamah atau bersahabat dengan mereka yang suka kebaikan.
Sedangkan yang melengkapi tradisi kehidupan Islam adalah beruzlah dari kekufuran, kemunafikan dan kefasikan dari orang – orang kafir, munafik dan fasik serta beruzlah dari tempat yang penuh dengan caci maki terhadap ayat – ayat Allah dan hal – hal serupa yang wajib dijauhi.
Al-Qur’an selain melindungi juga membebaskan manusia dari ketertindasan kaum kuat. Uzlah yang termaktub dalam Al-Qur’an adalah gambaran riil dari solusi bagi manusia yang ingin selamat dunia dan akhirat. Dalam kisah tersebut diatas ashhabul kahfi siap menjadi buron dan hidup papa, jauh dari keramaian, jauh dari karib, teman dekat, anak istri bahkan harta benda karena iman dan keteguhan hati menjadi skala prioritas hidup, maka uzlah adalah jalan akhir yang harus dilakukan dengan tujuan ridlo Allah dan dekat kepada-Nya.
Sikap uzlah yang ditawarkan Al-Qur’an bukan bermaksud mengkerdilkan jiwa manusia agar takut, lari dan menghindar dari perjuangan. Antisipasinya adalah kekuatan yang tidak sebanding antara negara dan sekelompok pemuda (ashhabul kahfi) walaupun mereka adalah sekelompok pemuda dari kaum bangsawan yang terhormat, mereka tidak mungkin melakukan perlawanan terhadap kerajaan yang memiliki power lebih. Sikap menyingkir merupakan alternatif terbaik bagi ashhabul kahfi, demikian halnya yang dilakukan oleh kaum rahbaniyyin.
Satu hal yang harus disadari adalah uzlah jangan dipahami sebagai sikap menyingkir dan menyelamatkan diri ansich. Dalam Uzlah hakekatnya sikap positif yakni tafakkur dan mendekatkan diri kepada Allah demi tercapainya kejernihan jiwa. Kalau uzlah hanya sebatas menyingkir, sembunyi dan lari dari kehidupan sosial adalah menyalahi fitrah kemanusiaan dan dosa karena menghindar dari tanggung jawab sebagai manusia zone politicon. Bahkan ia akan menjadi pengecut, berjiwa kerdil dan a sosial yang notabene menyalahi aturan Tuhan yang menjadikan dirinya Khalifah Allah fi al-Ardl.
Menurut Az-Zuhaili dua peristiwa ashhabul kahfi dan rahbaniyyin sebagaimana dalam ayat – ayat diatas dapat dijadikan landasan dasar diperbolehkannya Uzlah (pengasingan diri) dari keamaian masyarakat ketika situasi membahayakan jiwa dan tauhid, namun dalam situasi normal ketika jiwa dan akidah umat tidak terancam, sebaiknya manusia tidak mengasingkan diri secara fisik dan non fisik dari masyarakat. Islam pada dasarnya mengajarkan umatnya untuk menjaga keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, material dan spiritual, sehingga umat Islam disamping diperintah beribadah dan membersihkan jiwa juga diperintah untuk terlibat aktif dalam aktifitas duniawi yang berorientasi ibadah serta pendekatan dan pengabdian diri kepada Allah swt.
Pendapat Az-Zuhaili tentang prinsip keseimbangan aktifitas manusia, antara urusan dunia dan akhirat, material dan spiritual dengan mendekatkan diri kepada Tuhan dan melibatkan diri bersama masyarakat. Pemahamannya terhadap teks Al-Qur’an tampak sejalan dengan para tokoh pembaharu dan pemikir Islam modern seperti Fazlur rahman dan Hamka yang mengkritik kaum sufi agar lebih aktif melibatkan diri dalam aktifitas di masyarakat.
Semangat uzlah yang pernah di lontarkan oleh para sufi, sangat relevan untuk dikaji ulang dengan pemahaman Qur’ani dan diaktualisasikan dalam kehidupan dimasa sekarang ini, dimana ketidak seimbangan manusia dalam berfikir dan menggunakan teknologi sebagai manusia yang berkualitas membuat mereka mengidap gangguan kejiwaan antara lain, kecemasan, kebosanan dan penyimpangan akan nilai – nilai spiritualitas, mereka banyak terlibat dalam glamornya dunia. Kalau yang terjadi demikian maka mereka akan menjadi manusia yang kehilangan nilai – nilai agama sehingga menjadi resah. Dalam kondisi seperti ini, uzlah dalam pengertian meninggalkan segala perilaku dan nilai – nilai tidak baik dan melaksanakan nilai-nilai Islam yang diridloi Allah merupakan solusi yang tepat dalam rangka meningkatkan moralitas individu dan masyarakat menjadi lebih baik.
Uzlah tidak sekadar lari dan menjauhi keramaian, sikap menghindari dan menjaga dari hal – hal yang menyebabkan maksiat adalah uzlah dalam artian sempit. Kisah ashhabul kahfi dan rahbaniyyin yang lari dari ancaman pemerintah dengan cara lari kegua tidak boleh dipahami secara letterleik. Konteks uzlah era sekarang adalah berubah pada sikap sebagai pribadi yang menyadari dan bersikap bahwa ia harus menghindari kemaksiatan serta hal – hal yang menyebabkan dosa kecil dan besar.
Uzlahnya Ashhabul Kahfi, Kaum Rahbaniyyin dan Nabi Muhammad dengan cara pergi kegua karena tuntutan zaman saat itu memang demikian. Sekarang kita bisa beruzlah ditengah – tengah aktifitas sehari-hari yakni menanamkan keteguhan hati dan selalu memerangi kemungkaran. Menghindarkan diri bisa berarti pergi atau tidak melaksanakan, inilah sesungguhnya hakekat makna uzlah
Kesimpulan
1. Menurut Wahbah Az-Zuhaili perilaku uzlah pernah dilakukan umat Nabi Isa as yaitu Ashhabul Kahfi dan Kaum Rahbaniyyin, demi keselamatan jiwa dan agama dari kedhaliman penguasa. Hal ini hanya boleh dilaksanakan dalam kondisi darurat, sedangkan pada kondisi normal Al-Qur’an menegaskan harus ada keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat, keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan.
2. Pemahaman Az-Zuhaili terhadap teks Al-Qur’an tampak sejalan dengan para tokoh pembaharu dan pemikir Islam modern seperti Fazlur rahman dan Hamka yang mengkritik kaum sufi agar lebih aktif melibatkan diri dalam aktifitas di masyarakat.

3. Konsep keseimbangan antara urusan dunia dan akhirat dalam realita sekarang yang penuh dengan ketidak seimbangan manusia dalam berfikir dan menggunakan teknologi sebagai manusia yang berkualitas membuat mereka mengidap gangguan kejiwaan antara lain, kecemasan, kebosanan dan penyimpangan akan nilai – nilai spiritualitas sangat relevan diterapkan sebagai solusi terhadap problema kehidupan sekarang.
Referensi:
Amin Syukur, MA, Prof. Dr. Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997
Az-Zuhaili, Wahbah, Dr. Tafsir Al-Munir fi al-aaridah wa asy – Syari’ah wa al Manhaj, Dra al Fikr al –musahir, Damaskus, 1991
____________, Al-Qur’an al-Karim Bunyatuh al-Tashri’iyyah wa Khashaisuh al Hadlariyyah, Dra Al-Fikr, Damaskus, Cet. I, 1993
Ayazi, Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al_islam, Teheran, cet I., 1993
Al-Qazwini, Muhammad Ibn Yazid, Sunan Ibn Majah, Dar al Fikr, Beirut, t.th.
At-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad Ibn Isa Ibn Surah, Sunan At-Tirmidzi, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, t.th.
Awwa, Said, Tarbiyyatuna Ar –Ruhiyyah, Dar as-Salam, Cet III, 1990.
Muhayya, Abdul Dr. dkk, Tasawwuf dan Krisis, Pustaka Pelajar, Yogya, 2001

Saturday, June 18, 2011

World: The American Crime

Seven daring but inept Tokyo thugs planned a kidnaping that would rock the nation. Their intended victim: Emperor Hirohito's youngest daughter, the former Princess Suga. She was to be held for $138,888, the biggest ransom in Japanese history. Disguised as a meter reader, one plotter entered and cased the princess' house. The gang moved in for the snatch three times, only to have something go awry. Before they could make a fourth try, the police were tipped off and collared the gang, building an airtight case with full confessions. Yet last spring the accused were convicted only of trespassing and illegal possession of weapons. They got mild sentences of eight months to three years.

Unlike the U.S., where the sentence might be death, Japan is so lighthearted about kidnaping that sentences for the most successful snatches (unless they involve murder) seldom exceed six months. Japanese law is modeled on the German criminal code of 1907, which viewed kidnaping as a minor crime because it was so rare. But in postwar Japan, the soft law and a yen for yen have sharply increased what the French call "the American crime." Over a ten-year period, Japan recorded 4,728 kidnap cases, and the maximum penalty of ten years was given only 2% of the perpetrators.

For a while, it all seemed an unpleasant but harmless game, since the vast majority of the victims got home unscathed. But in two grisly cases last year, one victim was raped and murdered, and no trace has ever been found of the other. Clumsy police work encouraged cries for reform. One of the judges in the Suga case lamented, "Our criminal-code statutes are sadly out of line with our sense of values."

The Diet last week approved far stiffer laws, including a kidnap penalty of three years to life, and the country's first kidnap-conspiracy rap (one month to two years). But if kidnapers give their victim a break, they will still get a break from the law: those who surrender and do not harm their victims will have their sentences halved. With time off for good behavior, a kidnaper sentenced to life may be sprung in seven years.

The Soon to Emerge Crisis in Ethiopia: A n American Legacy?

The Soon to Emerge Crisis in Ethiopia: A Bush Legacy?

By Scott A Morgan

Most of the Critics of American Policy in the Horn of Africa generally focus on the fiasco in Somalia. But recent reports are indicating that a Key Regional Ally could possibly be in Danger of Collapsing.

One of the most contested regions in East Africa is the Ogaden Region in Ethiopia which lies along the Border between Ethiopia and Somalia. The Two Countries fought a Border Conflict in 1977 which saw the Soviet Union switch its allegiances from Mogadishu to Addis Ababa. After that conflict the Area became a hot spot in the Cold War. After the Collapse of the Soviet Union the Governments of both countries collapsed. Currently there is a Pro-Western Government in Addis Ababa and there is not a strong centralized Government in Somalia.

Since the Fall of the Siad Barre Government in 1991 Ethiopia has sent Forces into Somalia on three occasions. On All Three Occasions theses actions were seen to be proxy conflicts on behalf of the United States. The latest Incursion in December 2006 had Military Support from the United States. The US has been concerned about the rise of Somali Islamists ever since the Day of the Rangers in 1993. In that Battle 18 Members of the US Special Forces were killed trying to apprehend a Somali Warlord.

Ever Since the Controversial Decision to Prop up the TNG there has been a plethora of Problems for Prime Minister Zenawi. Obviously the Move was not popular with the Islamists in Somalia but that decision also led to rising tensions with Eritrea. The two countries fought a War that led to the establishment of an Independent Eritrean State. Now tensions are again rising along the border between the two countries. The Eritreans have been attempting to have the UN Mission leave its territory and the Ethiopians are still concerned.

The situation in Somalia is not the reason to be concerned however. The Area of concern should be the Ogaden Region. Although it has not garnered major coverage in the International Media it has been reported by the various Online Media Outlets from the region. According to Some Outlets a new series of clashes occured last week with reports of heavy casualties on both sides during the series of skirmishes. In the Past the Ogaden has been the base of the Anti-Zenawi Opposition in Ethiopia.

What should the United States do in this instance? There has been Legislation Drafted that would Limit the amount of Military Assistance to be provided by the US to the Improvement of the Human Rights Climate in Ethiopia. This is a good Idea. The US should also assist Civil Society Groups trying to promote Good Governance in Addis Ababa and other areas of Ethiopia. And it should work with Prime Minister Zenawi to promote a Free Vibrant and Independent Media. That is what the US should do at the very least. Now that there is a Change in Washington maybe that will happen.

The Author Publishes Confused Eagle on the Internet. It can be found at morganrights.tripod.com

Obama Criticizes ‘Bush-McCain’ Cuba, Latin America Policy *

By Mary Lu Carnevale

Susan Davis reports on the presidential race.

In a speech today on Cuba and U.S.-Latin American policy, Barack Obama will reiterate his pledge to immediately allow “unlimited” family travel and remittances to the island if he is elected president—policies that would loosen restrictions imposed under the current administration. In the excerpts of the speech provided by the campaign, the Illinois senator does not address easing or lifting the trade embargo.

“It’s time to let Cuban Americans see their mothers and fathers, their sisters and brothers. It’s time to let Cuban American money make their families less dependent upon the Castro regime,” the Democratic presidential front-runner is expected to tell a Miami audience.

obama_cuba_ssh_20080523153153.jpg
Barack Obama addressed the Cuban American National Foundation on Cuba and Latin American policy at a Cuban Independence Day Celebration in Miami on Friday (Assocated Press)

In several, pointed critiques, Obama aligns expected Republican nominee John McCain with President Bush on Cuba and Latin American policy. Three days earlier, McCain also gave a speech on the same topic in Miami in which he criticized Obama’s foreign policy views.

The Illinois senator defends himself against McCain’s attacks that he would “sit down unconditionally” with Cuban leader Raul Castro, but he does acknowledge his position to meet with foreign leaders without preconditions.

“Now let me be clear. John McCain’s been going around the country talking about how much I want to meet with Raul Castro, as if I’m looking for a social gathering,” Obama says. “That’s never what I’ve said, and John McCain knows it. After eight years of the disastrous policies of George Bush, it is time to pursue direct diplomacy, with friend and foe alike, without preconditions. There will be careful preparation. We will set a clear agenda. And as president, I would be willing to lead that diplomacy at a time and place of my choosing, but only when we have an opportunity to advance the interests of the United States, and to advance the cause of freedom for the Cuban people.”

Obama mentions Bush almost as frequently as he mentions McCain—a broader political effort by Democrats to align the Arizona senator with the unpopular president in the general election campaign.

“I will never, ever, compromise the cause of liberty. And unlike John McCain, I would never, ever, rule out a course of action that could advance the cause of liberty,” Obama says. “We’ve heard enough empty promises from politicians like George Bush and John McCain. I will turn the page.”

Obama further attacks McCain for joining “the parade of politicians who make the same empty promises year after year, decade after decade,” and says that “you can’t take his so-called straight talk seriously.”

On Latin America, Obama says he will create and a regional energy initiative to develop alternative and clean energy sources (an unusual proposal in an area with ample oil and gas resources), and offer more development assistance to the poor. He also pledges to broaden U.S. efforts to crack down on drug trafficking, and to expand diplomatic efforts by creating a Special Envoy for the Americas in the White House and expand Peace Corps efforts in Latin America.

Obama is opposed to the U.S.-Colombia free trade deal, but he takes a somewhat softer rhetorical approach on trade in this speech that he has on the campaign trail, where both he and Sen. Hillary Clinton have been highly critical of U.S. trade policy.

“Trade must be part of the solution,” he says, “But I strongly reject the Bush-McCain view that any trade deal is a good deal. …There’s nothing protectionist about demanding that trade spreads the benefits of globalization, instead of steering them to special interests while we short-change workers at home and abroad.”

American-Muslim Consumer Identity

Michael wrote this white paper for the Contemporary Muslim Consumer Cultures conference at Freie Universitat in Berlin. It has also been presented at the American Muslim Consumer Conference and at Texas A&M’s Race, Ethnicity & New Media symposium. In Fall 09, Cambridge Scholars Publishing will include it in their book Muslim Societies in the Age of Mass Consumption.

Excerpts from this paper and interviews relating to topic can be found in Ad Age, Religioscope, Huffington Post, Agency Spy and The National.

Noor and Ally

I’ve seen plenty of things making FUN of us. We would love to be part of a general marketing campaign if the media world would accept Muslims as a common part of the North American diaspora.
-Amethyst, Creator of Ninjabi

It is impossible for media to recognize the emergence of the Black Nerd as a lifestyle when the media on a whole chooses not to look at Black Males directly in the eye. I’m glad that popular culture is [now] recognizing us, if only to use that recognition to sell us more bullshit.
-Dallas Penn, Blogger

Introduction
Advertising in the United States has often influenced the pop-culture identities of religious and ethnic minorities. To be targeted by marketers serves as an invitation to join in the national narrative of capitalism. To shop is to be an American.

While this act of inclusion has merit, it has also fostered myopic marketing campaigns. Rather than diversity being, well, diverse, minority-targeted advertising often traffics in reductive stereotypes of soul claps and sombreros. While some of this is due to those creating content, it is also the fault of mass media, one historically comprised of “few senders and many receivers.” (Anderson 2003)

But this is slowly changing. In 2008, with the new media environment of blogs, video and social networks, we are beginning to see a more accurate depiction of minority groups. Why? Because there is more content and the media is being created by them, not about them. Dialogue is supplanting monologue.


In the coming years, the US market will likely begin to recognize and court the $170 billion purchasing power of American-Muslims. To date, pop-culture representations of Islam are either cloaked in evil or infused with pathos. But as Hallmark, Wal-Mart and 20th Century Fox begin creating content geared toward this demographic, it will slowly help to prove that American-Muslims are not only ‘as boring as the rest of us [Americans]‘ but also, as Amethyst states above ‘a common part of the North American diaspora.’

When considering this slow embrace of the Islamic consumer, our analysis must recognize legal scholar Leti Volpp’s point that:

September 11 facilitated the consolidation of a new identity category that groups together persons who appear “Middle Eastern, Arab, or Muslim.” This consolidation reflects a racialization wherein members of this group are identified as terrorists and disidentified as citizens.(2002)

With this in mind, we will look at Islamic identity within American advertising + film, mass media + new media, and how these arenas engage the act of cultural citizenship and the process of ‘being/becoming American’.

Source + Style
Given that this paper is for an academic conference, I want to make a quick note.

I was invited to contribute not as an academic, but as a working member of the American advertising industry – one that often avoids engaging the nuances of race, religion and ethnicity, instead opting for code works like ‘urban’ or window dressing for the idea of diversity. Seeing as this industry moves billions of dollars, this lack of open engagement is not just feckless, it is a missed market opportunity. Money is being left on the table. I write this paper with the hope that it might be read not only within academia, but also by members of the advertising industry. The majority of my source material is drawn from blogs, newspapers and interviews. My goal is to situate and frame various voices that are speaking about Islamic identity, as produced and consumed within America. It is an ongoing and living document.

Framing of Inquiry
Let us first examine the ways mass media in the US constructs the identities of ‘Islam’ and ‘America’:

Islam
Understanding Volpp’s point about the “consolidation [of people into] ‘Middle Eastern, Arab, or Muslim’ that are identified as terrorists and disidentified as citizens,” it is also important to note that American-Muslims are targets of both the US War on Terror and the War on Illegal Immigration. (Maira, 2008)

new-yorker-cover.jpg

On the cover of the New Yorker magazine, Democratic Presidential candidate Barack Obama was portrayed as an anti-American, terrorist Muslim (flag burning in fireplace, portrait of Osama bin Laden) and his wife Michelle is portrayed as black nationalist Angela Davis, a woman who was once on the FBI Most Wanted List and politically
aligned with the Black Panthers. This picture captures (and attempts to satirize) the idea held by some that Obamas are Muslim and ergo threatening terrorist/non-citizens.

In the 1960′s Civil Rights Movement, Dr. Martin Luther King Jr. was a Christian and Malcolm X was a Muslim. X’s most famous statement is:

We declare our right on this earth to be a man, to be a human being, to be respected as a human being, to be given the rights of a human being in this society, on this earth, in this day, which we intend to bring into existence by any means necessary.

This was perceived as a stark threat to the physical and financial comfort of (White-)America. The current leader of the Nation of Islam, Minister Louis Farrkhan, is situated within mass media as anti-Semitic/anti-American, furthering the ‘threat’ of Islam.

The US government’s Pro-Israel policy is conversely Anti-Palestine and is thus imbued with and interpreted as having an Anti-Islam stance.

us-and-israel-policy.jpg

America
Is America Ready For a Black President? This is a question that mass media has been asking ever since Obama declared his candidacy. This question truly means, and mass-media had dodged this fact till Fall 08: Is (White-)America Ready for a Black President? This question, when placed astride racial hypens and prefixes (African-, Hispanic-, Asian-, etc), creates the impression that the only true Americans are of Anglo-Saxon descent. And let us not forget that the American promise of ‘life, liberty and the pursuit of happiness’ was accorded only to property-owning European men.

In interviews for both this paper and other Desedo research projects, many non-white interviewees see the idea/ideal of ‘America’ as something that both overtly and covertly aims to exclude them from the national narrative. This is part of the representational politics of a country that is 68% White, with a House of Representatives that is 83.5% White and the Senate, 94%.

If one is a US citizen of the hyphenate class, his supposedly inalienable rights are however often imperiled. Middle-aged Hispanic-Americans in Texas are having to prove their legal citizenship. Nineteen different states have proposed laws to re-prove citizenship in order to vote – which will primarily disenfranchise poor and/or minority Americans who do not have adequate paperwork. These are the some of the same folks who were prevented from voting in the contested 2000 Presidential race. And of course there are the hundreds of thousands of Middle-Eastern, Arabian, Desi folks who since 9/11 have been denied due process and the supposed rights of American citizenry.

In the days after 9/11, the Ad Council of America created a Public Service Announcement (PSA) called ‘I Am An American’ in “direct response to the hundreds of hate crimes against Arabs, Muslims and Sikhs.” The goal was to paint a unified yet diverse portrait of America to prevent any further attacks. Yet, shockingly, within this framework “and despite seeking to deconstruct the binary between the citizen and the terrorist, Arabs, Muslims and Sikhs are not specifically included in this diverse display. There are no visible markers of anything Arab, Muslim or Sikh in the ads – no veil, no mosque, no turban, no beard, no clothing [or] accent.” Ergo such people are not ‘An American’.(Alsultany 2007)


In June 2008, Barack Obama was giving a speech in Detroit, MI where two hijabis were asked to not stand behind him while he spoke. Their hijabs were visual signifiers of their Muslim religion, and thus un-American. Note that had they not been wearing hijabs, they may not have been ‘identified’ as Muslims, and likely not excluded from the diverse background tapestry that all political candidates seek. Interestingly enough, I posit that had a Republican candidate been on stage, s/he may have courted this ‘background’. Within American politics, both parties often play to the center in pursuit of votes – Republicans not wanting to appear too white and Democrats not wanting to appear too diverse.

from-afar.jpg

Cultural Citizenship: Advertising
Given the vagaries of legal citizenship, the importance of cultural citizenship comes to the fore. Our national narrative is marked by acts and activities that are tied to an occasionally abstract idea of ‘America’ – sports like baseball or football, food like Thanksgiving Dinner, Apple Pie, McDonalds, activities like Boy Scouts, PTA, Church, etc… Like much of Brand America, these activites are seen as virtuous and ‘from the heartland’. In the post-9/11 space, The Council on American-Islamic Relations (CAIR) released a series of ads entitled ‘I Am An American Muslim’ in the effort to place Islam within this American narrative.

i-am-an-american-muslim.jpg

While via CAIR American-Muslims have advertised themselves within the Brand America, the reverse has not yet happened – as of fall 2008, American brands are not yet reaching out to American-Muslims and their $170B of spending power. Let us not forget that we are a capitalist country that cleaves shopping with national and religious holidays. And that president George W. Bush urged Americans to express their patriotism through the act of purchasing in the aftermath of 9/11. To shop is to be a good American.

...have yet to see a Ramadan sale

As noted in a New York Times article about article about ad agency JWT’s study of American-Muslims:

Almas Abbasi, a radiologist in Long Island [...] said she would be grateful for advertising that included Muslims “Ramadan starts, and you see an ad in the newspaper saying, ‘Happy Ramadan, here’s a special in our store’ everyone will run to that store,” she said.

burgerking-ramadan.png

Now American brands indeed do this within primarily Islamic countries – Burger King in UAE, HP in Bangladesh, Oreos in Indonesia etc. It’s pretty mundane. But to date, no Muslim holidays are seized as a sales opportunity within the US, except perhaps in Dearborn, Michigan, a city which has the highest concentration of Muslims and Middle Eastern folks in America. Wal-Mart, the largest retailer and (private) employer of Americans in 2008, has opened a store in Dearborn designed specifically for the Muslim and Middle-Eastern consumer:

Wal-Mart offers its standard fare, plus 550 items targeted at Middle Eastern shoppers…. To fit into this bastion of ethnic tradition, Wal-Mart started two years ago to meet with imams and moms, conducting focus groups at Middle Eastern restaurants.

Walk through the front door of the 200,000-square-foot supercenter and instead of rows of checkout counters, you find a scene akin to a farmers market in Beirut. Twenty-two tables are stacked high with fresh produce like kusa and batenjan, squash and eggplant used in Middle Eastern dishes. Rimming the produce department are shelves filled with Arab favorites like mango juice from Egypt and vine leaves from Turkey used to make mehshi, or stuffed grape leaves. A walled- off section of the butcher case is devoted to Halal meats…in the freezer case, you’ll find frozen falafel. You can also pick up a CD from Lebanese pop singer Ragheb Alama or buy Muslim greeting cards.

kfchalal.jpg

Ikea has taken similar, but smaller, measures to court Dearborn shoppers and the local McDonalds and KFC serve halal. On the national scale, Hallmark carries Eid cards and the United States Postal Service issued an Eid stamp in 2001 (thought there was a backlash in which people attempted to boycott the stamp because Eid spelled backwards is ‘Die’) But that’s about it, except, as a friend reminded me, “in advertisements for Universities to emphasis their ‘diversity’.”

eid_stamp.jpg

Now while tailoring stores to reach this consumer base is one important step for retailers, they should not forget that “the average Muslim consumer is much like the average American consumer, with wants and needs mainly dictated by their income, education, and type of family. Their socioeconomic status dictates their spending habits more than their religious affiliation.” (Y. Hafiz, 6/12/08) When speaking about Saatchi & Saatchi’s strategic ‘Lovemarks’ with Dilara Hafiz, co-author of The American-Muslim Teenager’s Handbook, she mused “…wow – it would be great if they saw a whole new field of Muslim consumers just eager to purchase products due to their amazing ads :) Seriously – there’s a lot of untapped buying potential amongst all these doctors & engineers.”

And as noted by Sara on her blog Muslim Canvas:

I guess the value I see in this marketing stuff is the effect it’ll have on the American psyche, rather than the Muslim psyche necessarily. An image of a hijabi mom spreading Jif peanut butter on her son’s sandwich, or of a long-bearded man answering the door on a Domino’s commercial, could go a long way for our ‘image’.

But this is not yet happening for several reasons. The first of which is that “part of the problem is that it is difficult for ad execs to create an advertising profile for Muslims as a whole, because [they] come from many diverse backgrounds and believe many different things.” (I. Hafiz, 6/12/08) Advertising is an industry that operates by committee – many rounds of approval and risk management – so there is an institutional aversion to engaging a seemingly complex demographic, one where there is the chance of ‘getting it wrong.’ (Robert, 9/7/08)

While Sara’s above point on Muslim Canvas is wholly correct, on the flipside there is the issue that “…portraying ‘Islam’ could fall into stereotypical depictions of women in headscarves and guys with long dishdashas and beards…in reality, any of the people in [any] commercial could be a Muslim, but unless they wear their faith in their clothing, it’s not something that will be obvious.”(Fakhraie, 6/12/08)

boeing.jpg

There is in fact a history of missteps by American businesses within the context of advertising and Islam – oddly enough none of them were borne out of an effort to reach the consumer demographic, but from using Islam as a backdrop or subtext for general market adverts. There is also an unspoken fear about engaging a supposedly ‘controversial’ consumer group – remember ˜terrorist/non-citizen”.

In a Spring 2008 campaign for Dunkin Donuts, spokeswoman Rachel Ray wore a scarf that looked like a keffiyeh. Conservative blogger and FOX analyst Michelle Malkin chided Ray for wearing a “jihadi chic” garment. In the ensuing media maelstrom Dunkin Donuts dropped the advert.

rachel-ray.jpg

While I am certain that any brand considering this space will be aware of the inflammatory anti-Muslim backlash that foments in the blogosphere, I posit that this may be similar to the hurdles brands face when reaching out to gay and lesbian consumers. And as Saad Ahmad, the 20 year old author of the blog Chill Yo, Islam Yo, pointed out: “Seeing that we live in a capitalist society [including Islam] in advertising is really just an economic issue.” If there is money to be made, this may indeed happen. So soon come the adverts.

Cultural Citizenship: Film & TV
It is common knowledge in the US that the onscreen portrayals of Muslims/Middle Eastern/Arab/Desi is often not a positive experience. Chicago Tribune reporter Kiran Ansari notes that in the book Guilty: Hollywood’s Verdict on Arabs after 9/11

…author Jack Shaheen states that in the hundred new movies he reviewed about Arab characters in the post-9/11 period, 1 out of 4 are not even set in the Middle East, yet they have a dubious Arab character thrown in. And although I realize that no one should rely on Hollywood as a source of information, a misrepresentation of any issue or minority group can trickle down to become public perception.

arab-stereotypes.jpg

While there may actually be an upswing in positive portrayals within small independent films, there is also the danger of falling into the same reductive typecasting that created the Hollywood stock character of the Magic Negro: African-American characters that exist because most Hollywood screenwriters don’t know much about black people…so instead of getting life histories or love interests, they get magical powers” that ultimately serve to benefit the white protagonists.

magic-negro.gif

aliens_in_america.jpg

The 2007 CW series Aliens in America treads in this territory, in which the character Raja, a Pakistani-Muslim exchange student in Wisconsin, served as a vehicle for the other characters to become more enlightened about the world. As noted by the blog Ultrabrown in an extensive review of the show’s place within our national narrative, it “gives a middle-class Pakistani kid a kurta, a fakey accent and a higher Allah-per-sentence ratio than a Wahhabi cleric. So last night’s premiere was, of course, a big hit with the mainstream media.” The Magical Muslim is a “comical friendly ‘terrorist’ [who] can win the hearts of a white community and an American viewership.”

Again, keeping Volpp’s identity conflation in mind, I think a more exciting moment was the 2005 film Harold and Kumar go to White Castle. The brilliance of this film is that it is the first time a Hollywood feature portrayed an Indian-American and a Korean-American as ‘Red Blooded American Males’. Like millions of other American men in the 18-34 demographic, Harold & Kumar’s prime objective was a holy trinity of bong hits, bare breasts + burgers. Ever present were their races and cultures, but instead of being mined as tropes for pathos, the exotic, or education they were well employed as one of many narrative and comic elements.


Many people loved Harold and Kumar as the first bawdy blockbuster that spoke to their same-but-different status as hyphenated Americans. While the character Kumar, played by Kal Penn, is not tied to any religion, multiple times in the film White-Americans engage him as if he were a terrorist/ non-citizen/Muslim.

kumar-as-terrorist.jpg

The film was popular enough at the box office to spawn the 2008 sequel Harold and Kumar Escape From Guantanamo Bay. And while it’s not very good film, cultural critic Oliver Wang points out that it’s actually “…an achievement of a kind too, proof that Asian Americans have made it far enough into the Hollywood machine that they can make perfectly mediocre mainstream fare as much as the next folks. Woo hoo, the promised land.” Boring as the rest of us, welcome to America.

What’s next? Hollywood studio 20th Century Fox has acquired the US rights to develop a version of the popular Canadian CBC TV show Little Mosque on the Prairie. Having a sitcom that is centered on an ethnic, religious, racial or social group is another American rite of passage. While many of these shows do fall into reductive stereotype, some become historic, like The Cosby Show, heralded throughout mass media for “it’s help in improving race relations by projecting universal values that both Whites and Blacks could identify with, using the tried and true format of the television sitcom.” (Feagin & Inniss 1995)

little-mosque.jpg

Will Little Mosque have such a profound effect? If nothing else, it will make waves as the first of it’s kind in the US, a space in which lines like: “It’s a perfect Muslim solution – nobody is happy” are not pernicious, but funny. The blog Muslimah Media Watch has done a brilliant job in parsing the first two seasons of the CBC show and reminds us that it “portrays a certain group of Muslims who follow Islam in a certain way. Although many Muslims may agree with most of the message, the message is still a conservative one.” Sobia from Muslimah Media Watch points out that even within this conservative rubric, we see “…husband and wife characters Yaser and Sarah…showing affection toward one another in public.” Amongst some this has raised the thread:

How dare she touch her husband’s ass in public? If Muslims are being depicted on television, they damn well better be behaving like ‘good’, ‘pure’, and ‘proper’ Muslims.

Sobia’s response is that this is:

A bit preachy if you ask me – and not to mention unrealistic! In my opinion, depicting Muslims engaging in lusty or affectionate behaviour…aides in the process of ‘normalizing’ us. After all, is this not how we behave? Do Muslim couples not show affection toward each other in public?…Or must we portray this facade of ‘virginal purity’ and display our modesty at all times?…Why must we shove morality, or at least one particular version of it, in everyone’s face.

What will be most interesting to see is how the mass media receives Little Mosque and reports on the subsequent public responses. Will there be product placement? In the Fall 2008 season of the CBC version, the massive Canadian insurance provider Cooperators is integrated into the narrative. Will the US version see Jiff or Dominoes in the kitchen? This could indeed help to achieve comedian Maz Jobrani’s hope that Americans begin to understand that Iranians bake cookies too – sans explosives.

It is indeed comedy that most often breaks down barriers between cultures, and at the vanguard of this is often standup comedy, which marks an “assimilat[ion] into the American way of self-lampooning or satirizing, which is part of the society.” Predating 20th Century Fox’s option on Little Mosque are two US comedy tours that have since made it onscreen – Axis of Evil and Allah Made Me Funny. As the producer of Axis said:

…this is the last stereotype to be broken down. In the same way you look back at Dick Gregory [black] or Latinos or gays, it’s very much a moment. There is always a moment in time when society was not ready to confront stereotypes. For people of Middle Eastern descent, [other] people aren’t quite ready to confront those stereotypes.

axis-of-evil-comedy-tour.jpg

While both the film and tour of Allah Made Me Funny feature all Muslim comedians, only one of the four Axis of Evil comedians, Ahmed Ahmed, is a Muslim. Axis, which has played to wide audiences on Comedy Central, as has a special called The Watch List, engages the issue of conflation. In fact, comedian Dean Obeidallah, who is half Italian/half Palestinian, said in a PBS special that before 9/11, he “was just a white guy.” Since then, he has become more aware of and involved with his Arabic identity, first in response to how others defined it and then how he could “try to do something to define who we are, the right way…it’s up to us to go out there and do that.”

Mass media recognizing both the social and market value of this comic vein is invaluable, but Maz Jobrani reminds us that it is not about waiting for this to happen within mass media – it is about taking control as an individual author. When I interviewed him, Jobrani noted that:

People write to me and say “Hey Maz, why don’t you do this or talk about that?“ and my response is “No. Better yet – YOU can do this – with the tools of new media, I am not the only mouthpiece of Iranian comics – you too can make these jokes and get them out there to the masses” and this is a great thing.

Cultural Citizenship: New Media
Jobrani’s support of young comics to create and distribute their own content is symbolic of what I think is the most important act within the arena of ‘becoming’ American – authorship. Obedelliah chooses define himself in response to others foisting a (mis)identity upon him. Ali Ardekani created the YouTube world of Baba Ali. The American-Muslim Teenage Handbook was borne out of the Hafiz family’s realization that since “…there is no single head of Islam…why not define ourselves?”

This definition of self is inherently difficult within mass media, due to the ‘few senders and many receivers’ model. Minority groups often have but one or two examples of self that supposedly stand in for millions. Little Mosque will play that role soon within the American primetime TV space (likely a welcome replacement to the conflated villains within 24, Sleeper Cell, Traitor, etc.. ).

It is new media that offers the greatest opportunity for expression of self, as the space serves to “multiply rather than reduce the number and range of message producers and [is] far more interactive, not only in the minimal sense of an increased range of choice, than mass media.” Fatemeh Fakhraie, Editor-in-Chief of Muslimah Media Watch, which is both an analysis of mass media and an access point to all other Muslimah bloggers, started the blog “because I didn’t see any representation of Muslim women in either mainstream or feminist publications. We weren’t given a voice; we are only talked about.”

While we are looking at this identity construction within the space of Islam, over the last 10 years there have been many hyphenated Americans who, within the new media space, have been able to remix their identity within public space – and in turn secure for themselves a more powerful and complex voice within mass media. Three quick examples of note are:

nerds.jpg

Black Nerds
Over the last few years, we have seen a media rise in black skaters, black rockers, black videogamers and a successful new strain of hip-hop, all of which run counter to the standard mass media image of black man as athelete/rapper/criminal. Why? Director Raafi Rivero posits that perhaps:

The proliferation of media voices and sources enabled by the internet has allowed a more nuanced and less gangster voice of young black America to emerge, untempered by market concerns and sensationalism…that because of our more democratized communication tools we are beginning to see a more accurate depiction of black america. Mainly because, you know, that media is actually being created by, ahem, black people.

Gay/Lesbian
I recently interviewed a peer who had been struggling with his gay identity at the turn of the century – he knew that he was gay – but did not want to partake in the public ritual of attending gay bars/clubs. Nor did he want to ‘declare’ himself gay for fear that to do so was fraught with signifiers and would cause others (both hetero- and homo-) to reduce him to a stereotype. But via the internet he was able to find likeminded men, while their sexual inclinations were gay, they did not fit the mass media portrayal of homosexuality. By becoming empowered through this online space, he, and many of his friends decided to come out of the closet – a trend that we have seen as manifested in the ‘gay population explosion’ over the past 10 years. With an increased public presence, there is in turn a greater diversity of voices at the table.

burlesque.jpg

Sex Workers
The current trend of sexually forward and tart-tongued heroines in major films and TV shows (Washingtonienne, Juno, Secret Diary of a Call Girl) are all rooted in sex-worker literature – the majority of which began in the blogosphere. Also note the rise of Neo Burlesque and Suicide Girls. Via authoring and distributing their own stories, sex workers are now newly ‘revealed’ to be, of course, nuanced and complex human beings, or boring as the rest of us, not simply a ‘Hooker With a Heart of Gold’ or a ‘Dumb Tramp’.

Islam?
Where might new media take Islamic Identity in the US? Well even with the advent of comedy, sitcoms and Wal-Mart, Fatemeh of Muslimah Media Watch notes that:

Islam’s presence in [mass media] is increasingly religious, – things like beards, keffiyehs, terrorism, niqabs, and strict gender segregation and other “rules” are often what gets aired in the [mass media], and thus that’s what people think of when they hear Islam.

Offsetting this narrow scope, new media is the space within which one can tease out different aspects of his or her personality by being a creater/consumer or viewer/user. A young man can more easily be a Pious Muslim/Skater/Fan of Batman/Blogger all at once. Rather than waiting for mass-media to say OMG look at the soccerplaying hijabi, that teen, for whom this multiplicity is wholly normal, will be likely be online accessing those different parts of herself. And of course there is a robust Muslim blogosphere. What is so unique to online? It is

a sphere of creole discourse and creole journeys, an intermediate sphere between more private worlds and those of public rituals; it is part of a continuum between those along which social actors can move. Viewed statically, as languages, creoles appear mixed; but viewed dynamically, as speech communities, they look more like intermediate points on a continuum of activities and encounters that people enter and leave.(Anderson 2003)

It is the easiest space in which to be American, to be Muslim, to be both and beyond.

It is indeed these young folks who likely be at the vanguard of the morphing Islamic identity within America. While the runway chic of Balenciaga, Raf Simons and TSE have been mining the visual language of hijabs and keffiyehs far more important is the young design collective MSLM that remixes Islam with hip-hop style in Rotterdam. Fashion blogs like Hijab Style and We Love Hijab. The US teen magazine Muslim Girl, small-press hipster t-shirts that celebrate Ramadan and Hijabman’s tweaking of an old Irish saying. This content is disseminated, consumed and remixed by others online and authored by/for young Muslims.

ramadan-hipster-shirt.gif

frisk-me-im-muslim.jpg

Online we see the comic strip Ninjabi, authored by a young woman in New Jersey, what she sees as “something for the new generation of muslim girls to look up to – a character cross between then popular powerpuff girls, and a somewhat devout muslim who cares for human rights, taking a hidden ninja lifestyle to help others.” And then a girl in Texas started another comic of the same name. Might there soon there be a third?

As media scholar Faris Yakob points out in his thesis I Believe The Children Are Our Future “If we look to those under 25, we see not incremental but qualitative shifts in behaviour. The generation gap has never been wider, because kids can control their own experiences of ideas in a way the generations that grew up before never could.” It is these digital natives who truly understand duality. They are the first generation who can bifurcate themselves, not with the negative connotations usually ascribed to such cleavage, but in a way that actually makes them more holistic.

They can likely slide between the terrorist/non-citizen label, and be both American and Muslim -not ‘become’ American as mass-media may be waiting to see, or confer – but be – as they already are. It is this new media space that will likely feed ‘new’ identity politics to advertising, film and mass media. It is this authorship that hopefully will diversely define the forthcoming Muslim Consumer space within America.